Beranda | Artikel
Menjadi Pribadi Muhsin
Minggu, 13 Februari 2022

Pengertian ihsan

Sebagai hamba Allah yang menginginkan kebaikan baik di dunia maupun akhirat, sudah semestinya kita mengenali diri dan agama ini dengan sebaik-baiknya. Sebagaimana kita ketahui, dalam Islam terdapat tiga tingkatan seorang hamba, yaitu: Islam, iman, dan ihsan. Wujud keislaman kita dapat dibuktikan dengan mengerjakan amalan-amalan badaniyyah seperti syahadat, salat, puasa, zakat, dan haji. Sedangkan wujud keimanan adalah amalan hati (bathiniyyah), yaitu mengimani Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan takdir yang telah ditetapkan oleh-Nya.

Adapun wujud ihsan dapat dimanifestasikan dalam segala bentuk amalan baik badaniyyah maupun bathiniyyah, baik wajib maupun sunnah yang dipersembahkan hanya bagi Allah Ta’ala dengan cara meyakini bahwa Allah Ta’ala mengawasi setiap tutur kata, tingkah laku, perbuatan dan segala gerak-gerik kita di manapun dan kapan pun.

Ihsan adalah sebuah istilah yang menggambarkan derajat tertinggi seorang hamba muslim dan beriman. Untuk menggapai derajat ihsan, kita mesti memahami hakikat ihsan dan mengerti tentang betapa pentingnya upaya kita untuk sampai pada derajat ini.

Dalam sebuah hadis populer yang dikenal dengan hadis Jibril, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan makna ihsan sebagai berikut,

أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ

“Hendaklah Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan Engkau melihat-Nya. Kalaupun Engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu” (HR. Muslim no. 8 dari Umar bin Al Khattab Radhiyallahu ‘anhu).

Dalam Kitab Bahjatu Qulubil Abraar (hal. 168-169), Syekh ‘Abdurrahman as Sa’di Rahimahullah membagi pengertian ihsan dalam dua macam, yaitu ihsan dalam ibadah kepada Allah Ta’ala dan ihsan dalam bermuamalah dengan makhluk Allah Ta’ala. Namun, dalam artikel ini penulis mengkhususkan untuk membahas hal-hal yang berkaitan dengan ihsan dalam pengertian ibadah kepada Allah Ta’ala saja. Syekh As-Sa’di kemudian melanjutkan penjelasan tentang ihsan kepada Allah Ta’ala yaitu dengan melaksanakan perintah Allah seakan-akan melihat-Nya atau merasa diawasi oleh-Nya.

Baca Juga: Letak Kesempurnaan Iman dalam Akhlak terhadap Istri

Bagaimana beribadah dengan ihsan

Tentu, secara umum kita paham maksud dari “beribadah kepada Allah dan meyakini bahwa Allah mengawasi ibadah kita”. Tapi, bagaimana dengan maksud dari ‘كَأَنَّكَ تَرَاهُ’ (seakan-akan Engkau melihat-Nya)?

Diriwayatkan dari Abdullah Ibnu Umar Radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menasihati seorang sahabat yang bernama Ibnu Umar Faidah Radhiallahu ‘anhu dengan bersabda,

اعبدِ اللهَ كأنَّك تراه وكنْ في الدُّنيا كأنَّك غريبٌ أو عابرُ سبيلٍ

“Beribadahlah kepada Allah seakan-akan kamu melihat Allah dan jadilah kamu di dunia seakan-akan orang asing atau musafir” (HR. Ahmad no. 6156).

Dalam hadis lain, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

اعبدِ الله كأنكَ تراهُ ، فإن لم تكنْ تراهُ فإنه يراك ، واعددْ نفسكَ في الموتَى ، وإياكَ ودعوةُ المظلومِ فإنها تستجابُ ، ومن استطاعَ منكم أن يَشهدَ الصلاتينِ العشاءَ والصبحَ ولو حَبوا فليفعلْ

“Beribadahlah kepada Allah seakan-akan kamu melihat Allah, jika kamu tidak melihatnya maka sesungguhnya Dia yang melihatmu. Dan anggaplah bahwa seakan-akan kamu hendak mati. Jauhi dan hati-hati dari doa orang-orang yang dizalimi. Dan siapa di antara kalian yang mampu untuk salat Subuh dan Isya berjamaah walaupun dia merangkak untuk mendatanginya, hendaknya dia lakukan” (HR. Abu Dawud, dihasankan oleh Al-Albani dalam Kitab As-Silsilah As-Shahihah no. 1474).

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan tentang bagaimana kita semestinya menghadirkan perasaan bahwa seakan-akan kita berada di ambang kematian -dan memang kita berada di titik itu saat ini-. Maka dengannya, kita kemudian akan mempersembahkan ibadah terbaik kita kepada Allah, mulai dari tuma’ninah-nya hingga kekhusyukannya.

Beribadah seakan-akan melihat Allah juga mengandung makna bahwa beribadah mestinya dengan didahului oleh mempelajari ilmu tentang ibadah tersebut. Adapun pokok ilmu adalah ma’rifatullah (mengenal Allah). Semakin dalam kita mempelajari ilmu tentang Allah, maka semakin dalam pula tingkat pengetahuan kita tentang Allah. Mengenal Allah tentu saja dengan cara mempelajari ilmu tauhid, mulai dari rububiyyah-Nya, uluhiyyah-Nya, dan asma’ was-shifat-Nya.

Demikianlah maksud dari “beribadah seakan-akan melihat Allah”. Oleh karenanya, betapa pentingnya berilmu sebelum beramal. Pada akhirnya, dengan memperdalam ilmu tentang ma’rifatullah akan semakin mendekatkan kita pada derajat ihsan yang merupakan level tertinggi seorang hamba.

Baca Juga: Akhlak Mulia, antara Tabiat (Bawaan) dan Usaha Manusia

Buah kepribadian ihsan

Telah kita ketahui bahwa dengan mengenal Allah lebih dalam, maka akan semakin memudahkan kita untuk mencapai derajat ihsan. Jika kita telah sampai pada suatu titik dimana segala hal yang kita lakukan kita sadari bahwa Allah selalu mengawasi, maka insyaallah kita kemudian akan menjadi hamba yang mendapat keberkahan di setiap tutur kata dan tingkah laku, baik dalam konteks hablun minallah maupun hablun minannaas.

Menjadi hamba Allah Ta’ala yang mendapat keberkahan itulah yang disebut muhsin, yaitu orang yang telah sampai pada derajat ihsan dan akan mendapatkan karunia serta pahala terbaik di surga. Allah Ta’ala berfirman,

لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَىٰ وَزِيَادَةٌ ۖ

Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya.” (QS. Yunus: 26).

Ibnu Katsir Rahimahullah dalam kitab Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim menjelaskan bahwa maksud dari al-husna adalah surga. Sedangkan maksud dari ziyadatun adalah nikmat terbesar berupa dapat melihat wajah Allah Ta’ala pada hari kiamat.

Shuhaib bin Sinan Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِذَا دَخَلَ أَهْلُ الْجَنَّةِ الْجَنَّةَ قَالَ يَقُولُ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى تُرِيدُونَ شَيْئًا أَزِيدُكُمْ فَيَقُولُونَ أَلَمْ تُبَيِّضْ وُجُوهَنَا أَلَمْ تُدْخِلْنَا الْجَنَّةَ وَتُنَجِّنَا مِنْ النَّارِ قَالَ فَيَكْشِفُ الْحِجَابَ فَمَا أُعْطُوا شَيْئًا أَحَبَّ إِلَيْهِمْ مِنْ النَّظَرِ إِلَى رَبِّهِمْ عَزَّ وَجَلَّ حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ عَنْ حَمَّادِ بْنِ سَلَمَةَ بِهَذَا الْإِسْنَادِ وَزَادَ ثُمَّ تَلَا هَذِهِ الْآيَةَ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ

“Jika penghuni surga telah masuk surga, Allah Ta’ala berfirman, ‘Apakah kalian (wahai penghuni surga) menginginkan sesuatu sebagai tambahan (dari kenikmatan surga)?’ Maka mereka menjawab, ‘Bukankah Engkau telah memutihkan wajah-wajah kami? Bukankah Engkau telah memasukkan kami ke dalam surga dan menyelamatkan kami dari (azab) neraka?’ Maka (pada waktu itu) Allah membuka hijab (yang menutupi wajah-Nya Yang Mahamulia), dan penghuni surga tidak pernah mendapatkan suatu (kenikmatan) yang lebih mereka sukai daripada melihat (wajah) Allah ‘azza wa jalla. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam membaca ayat tersebut di atas (bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya)” (HR. Muslim no. 181).

Maka apalagi yang mesti kita tunggu? Mari segera bertekad dan berupaya semaksimal mungkin untuk menggapai derajat ihsan. Mengetahui lebih dalam tentang ma’rifatullah agar dalam beribadah kita dapat menghadirkan Allah seakan-akan kita melihat-Nya. Begitu pula agar kita meyakini dengan haqqul yaqin serta senantiasa menyadari bahwa Allah melihat dan mengawasi apapun yang kita lakukan di manapun dan kapanpun.

Wallahua’lam bi ashawab.

Baca Juga:

***

Penulis: Fauzan Hidayat


Artikel asli: https://muslim.or.id/72262-menjadi-pribadi-muhsin.html